BUDAYA PERFILMAN INDONESIA YANG MEMBURUK
Pada paper kali Kenapa saya mengakat tema tentang perfilman Indonesia? Pada dasarnya film adalah salah satu dari sekian banyak sarana hiburan yang dinikmati oleh banyak orang. Film dapat menginsiprasi tiap orang baik dari tokohnya maupun dari jalan ceritanya, tapi bagaimana jadinya jika dari ceritanya saja sudah tidak memberikan pesan moral yang baik bagi penonton pastinya akan berdampak juga bagi para penonton.
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander,Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dariHollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkungyang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudulPasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugrohoyang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia.Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Sekarang ini kualitas perfilman Indonesia bisa dikatakan sangat rendah, hanay berisi cerita – cerita porno yang di kemas ke dalam film horror. Para produser film hanya memikirkan keuntungan semata dan menyampingkan moralitas dari sebuah film karya anak bangsa. Budaya Indonesia yang menjungjung tinggi moralitas dan kesopanan dinomorduakan dan mengutamakan keuntungan saja. Sebuah realita yang sungguh mengenaskan ketika Indonesia sebagai Negara yang menjungjung tinggi adat istiadat, norma – norma, budaya leluhur dan nilai agama perfilman Indonesia sangat buruk.
tidak sampai situ saja, sekrang jenis cerita film sepeti itu juga mulai mewabah ke cerita cerita FTV dan sinetron di stasiun televisi salah satunya SCTV , rumah produksi tersebut menghadirkan sinetron lepas yang menggambarkan kehidupan bebas kalangan remaja di kota besar. Judulnya pun tegas, menyentil persoalan gawat di kalangan remaja, “Akibat Pergaulan Bebas”. Akibat pergaulan yang menyesatkan itu (terutama seks bebas dan narkoba), adalah penyesalan, penderitaan seumur hidup hingga kematian di usia muda. Mereka terpaksa kehilangan masa depan.Sinetron ini mulai tayang di SCTV, Sabtu (12/11) malam pukul 21.00 WIB dengan episode pertama, “Kesucianku Direnggut Ayah Kandungku”. Pada episode awal ini dikisahkan nasib malang remaja putri bernama Lara (Nimas Ayu Kinasih) yang jadi korban petualangan seks. Ia dihamili pengusaha bernama Hartono (Dwi Yan), yang ternyata ayah kandungnya. Hartono bercerai dengan Niken (Meriam Bellina), pada saat Lara masih dalam kandungan. Lara lahir dan tumbuh sebagai gadis yang nihil kasih sayang ayahnya.Sinetron ini muncul berkat ide cerita produser Firman Bintang, serta sutradara Iyon Priyoko dan Norman Benny. Daya tarik lainnya, “Akibat Pergaulan Bebas” memakai tema lagu “Tak Akan Melupakanmu” (Radja), “Wahai Kau Cinta” (Radja), dan “Setengah Hati” (Ada Band).Warna Baru“Akibat Pergaulan Bebas” menyajikan episode-episode bermuatan kehidupan bebas, seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan aborsi.Berbagai topik yang diangkat merupakan warna baru bagi persinetronan Indonesia. Dibandingkan sejumlah sinetron remaja yang kini marak, “Akibat Pergaulan Bebas” memiliki perbedaan sangat mendasar. Sinetron ini secara fokus menyorot kehidupan kaum remaja kota besar yang terjerumus ke dalam berbagai persoalan besar. Artinya, bukan sekadar kisah percintaan cengeng atau glamor.“Akibat Pergaulan Bebas” dibintangi artis-artis tua dan muda, seperti Meriam Bellina, Dwi Yan, Roy Marten, Donna Harun, Leroy Osmany, Adipura, Moudy Wilhelmina, Novia Ardana, Hengky Tarnando, Debby Cinthya Dewi, Ardina Rasthi, Nimas Ayu Kinasih, dan Eva Asmarani.
Film yang hanya sebuah hiburan semata namun memiliki dampak yang besar dalam kehidupan. Tanpa disadari telah terjadi pergesarran budaya. Kalau saja kita peka dengan sekitar, kita semua mengalami westernisasi akibat perfilman ang juga mengalami hal serupa. Mulai dari kita cara berpakaian, bertingkah laku, sampai dengan sikap kita mengalami westernisasi. Namun dlam hal ini perubahn yang kita alami agak sedkit negative, kenapa? Ya karena Indonesia yang berkebudayaan timur tiba – tiba para masyarkatnya mengadopsi kebudyaan barat
Pada periode “mati suri” itu seluruh bisnis perfilman Indonesia 100% di topang oleh film-film import baik dari US maupun China. Sementara film Indonesia pada kurun waktu itu hanya dipenuhi oleh film-film yang mengeksploitasi seksualitas. Masuk awal era 1990an baru bermunculan film-film idealis yang di promotori oleh Eros Djarot dan Garin Nugroho. Eros Jarot sukses besar dengan film “Tjut Nya’ Dien” (1988), aku inget betul waktu nonton film itu (kalau gak salah waktu itu kelas 1 SMA) getarannya terasa hingga beberapa hari, perasaanya persis ketika aku nonton film Artificial Intelegence nya Steven Spielberg. Semetara Garin, dengan sederhana, perlahan tapi pasti meluncurkan film-film idealisnya yang “sangat tidak laku di pasaran, seperti “Cinta dalam Sepotong Roti” (1991), “Bulan Tertusuk Ilalang” (1995) dan “Daun di Atas Bantal” (1998). Untuk film yang terakhir itu aku acungi 10 jempol! Cerita tentang kehidupan riil anak jalanan. Film yang membongkar habis artifisialisme moralitas kaum menengah ke atas yang kerjaannya hanya berlindung di balik sikap “escapism”. Dan hebatnya lagi aktor2nya asli anak jalanan, dan tak lupa my favorite actrees: Cristine Hakim!
Tetapi sekali lagi masa itu belumlah memasuki masa “industrialisasi” film, masih dalam tahan “identifikasi”. Artinya, film Indonesia masih dalam tahap menunjukkan jati dirinya dan membuktikan bahwa “kami ada!”.
Barulah pada tahun 2002 perfilman Indonesia di guncang oleh gegar “Ada Apa dengan Cinta”. Cerita yang disuguhkan dalam film itu biasa-biasa saja, dan menurutku Dian Sastro dan Nicholas Saputra juga nggak cakep-cakep amat dibandingkan sederet artis dan model yang Indonesia punya. Menurutku yang membuat film ini menjadi momentum adalah tingkat keseriusan penggarapan sebuah film. Manajemen dan perencanaan marketing yang rapi, tak lupa juga kemasan yang amat cantik dengan menggandeng hits maker, Melly Goeslaw di musikalitasnya. Rudi Sudjarwo (sutradara) yang betahun-tahun tinggal di California (berpindah-pindah mulai San Diego sanpai San Fransisco) juga berperan besar dalam peletakan film ini sebagai salah satu mark dalam sejarah Indonesia.
Tonggak sejarah perfilman Indonesia kembali tercipta tahun lalu melalui film “Ayat-Ayat Cinta”. Yang membuat film ini hebat, lagi-lagi bukan cerita nya yang berbobot, mengandung filsafat macem2, dll, tapi kemmapuannya meraup pasar yang luar biasa. Total penonton film ini hampir 5 juta orang! (belum termasuk yang nonton dari VCD bajakan ya…) 3,6 juta diantaranya dari pasar domestik, sementara sisanya dari Malaysia dan Singapura. Film ini tercatat sebagai rekor film yang paling banyak di tonton dalam sejarah perfilman Indonesia. (OOT; rekor novel paling laris dalam sejarah Indonesia sekarang di pegang “Laskar Pelangi”).
Psikologi. “Claudia/Jasmine” film ini bercerita tentang bagaimana upaya seorang perempuan dalam berdamai dengan trauma di masa lalu, hampir sama dengan “Tentang Dia”. “3 Hari untuk Selamanya” merupakan deskripsi tentang proses pencarian jati diri dan definisi hidup bagi manusia di usia remaja. “Detik Terakhir” cerita tentang kehidupan ekstrem: lesbian plus pecandu narkoba, dan bagaimana ereka deal with masyarakat dan norma yang ‘mencampakkan’nya, pesan yang hampir sama tapi dengan kemasan yang sedikit berbeda (yang ini straight) juga tersaji dengan apik dalam film “Radit dan Jani”. Film “I love you Om” konon diangkat dari kisah nyata seorang anak perempuan SD yang jatuh cinta dengan lelaki usia 30 an (ck..ck..ck..!). terakhir dalam kategori ini yang paling huebat adalah “Ekskul” nggakperlu aku komentari,tonton aja sendiri, film yang benar2 mengguncang jiwa raga!
Humor. Akhir-akhir ini bermunculna film-film humor yang berbau sex (tetapi nggak eksploitatif, cukup diskursif) terutama film2 yang dibintangi Tora Sudiro, seperti “Quickie Express” atau “Namaku Dick”. Ada banyak judul-judul lain sih… lumayan lucu dan menghibur. Film-film humor dengan gaya joke yang ‘aneh’ dan ‘inovatif’ dapat di temui di “Kwaliteit 2”, “Maskot” dan “D’Girlz Begins”. Film yang lucu abis dan gaya joke yang “Indonesia banget ada di “Jomblo”, “Mendadak Dangdut”, “Maaf Saya Menghamili Istri Anda”dan “Get Married”.
Horor/Thriller/Adventure. Aku nggak banyak nonton sih, tapi yang sepat membuat hatiku tergerak untuk menonton itu: “Jaelangkung”, dan “Kuntilanak” karena di sebut-sebut sebagai film horor yang penggarapannya cukup serius. Tapi satu film genre horor yang menurutku ciamik itu “Kala”. Untuk film thriller dan adventure yang cukup bagus itu ada “Tragedy” dan “Ekspedisi Madewa”.
Cinta. Nah kategori ini nih yang paling sering dapet cemoohan. Padahal kalau menurutku sih “Apa Yang Salah Dengan Cinta”??!!. Seremeh temeh apapun padnangan kalian tentang film-film cinta, yang jelas setiap abis nonton film-film ini perasaanku menjadi betambah cinta pada istriku. Dan aku menjadi semakin benci bila melihat ada laki-laki atau perempuan yang menyia-nyiakan cinta mereka punya. Cinta itu indaaaahhh banget…! film-film ini juga yang membuat aku berpikir bahwa (karena aku cowok) bahwa semua perempuan harus mendapatkan tempat yang paling istimewa dihati pasangannya. Adapau film-film yang meneduhkan itu adalah: “Ruang”, “Love”, “Brownies”, “Heart”, “Mengejar Mas-mas”, “Butterfly” dan “Selamanya”.
Anak/Keluarga. “Denias: Senandung di Atas Awan” aku kira udah pada banyak yang nonton ya… nah sebenarnya ada banyak film-film lainnya yang sama hebatnya dengan film itu, seperti “Petualangan Sherina”, “Ariel dan Raja dari Langit”, dan yang paling aku suka plus sangat kena’ banget itu film yang judulnya “Untuk Rena”, cerita tentang hubungan papa dengan anak perempuannya…daleeemm banget.
Sosial-Politik/Gender. Nah, makin kesini makin serius nih genrenya, makanya salah itu kalau ada yang bilang film Indonesia isinya cuman “Cinta” dan “Horor” aja. Justru daftar film di genre ini cukup panjang. Yang paling hebat menurutku “Gie” kisah tentang aktifis angkatan ’66 bernama Soe Hok Gie, yang merupakan kakak kandung intelektual terbaik Indonesia saat ini Arif Budiman yang merupakan jebolan Cornell Univeristy dan sekarang jadi dosen tetap di Melbourne Univ. film-film tentang kehidupan masyarakat miskin dibuat dengan sangat apik dan ‘jujur’, seperti “Daun di Atas Bantal”, “Kun Fayakun”, “9 Naga”, “Mengejar Matahari”, “Rindu Kami Pada-Mu” dan “Wo Ai Ni”. Yang terakhir adalah cerita tentang kehidupan masyarakat miskin keturunan Cina di Singkawang. Film lain tentang warga keturunan ada juga di “Ca Bau Kan”. Secara khusus tentang tragedy 1998 ada di “Novel Tanpa huruf R”. Ada juga film tentang Amrozi dkk berjudul “Long Road to Heaven”. Film yang cukup fenomenal dala kategori ini adalah “Arisan!”. Hermawan Kertajaya, salah seorang pakar Marketing Indonesia sampai secara khusus mengudang penulisnya, Nia Dinata, untuk bicara di depan ratusan pengusaha Indonesia tentang kecerdasanya dan kejeliannya mngungkap budaya pop masyarakat (konsumen) Indonesia saat ini. ada dua fil bertema kesetaraan gender yang rapi sekali penggarapannya, yaitu “Berbagi Suami”, film senada dengan warna yang berbeda adalah “Sebening Hati Wanita”.
Filsafat/Budaya. Nah lo, ternyata film Indonesia ada yang bertema filsafat juga! Coba aja lihat film seperti “Pasir Berbisik”, (sekali lagi) “Novel Tanpa Huruf R”, “Telegram”, “Betina” dan “Mereka Bilang Saya Monyet” film-film tersebut buat ku harus ku tontotn berkali-kali untuk mengerti maknanya dan meresapi pesannya. Ada yang sampai sekarang pun aku masih nggak ngerti apa maksudnya, mungin karena filmnya terlalu filosofis sampai-sampai IQ ku yang a la kadarnya ini gak nyampe mencernanya.
Sebenarnya saya sangat suka menonton film tapi karena film Indonesia yang terlajur murahan saya jadi sangat males untuk menonton film Indonesia. saya sangat prihatin dengan perfilman Indonesia yang dari hari ke hari tidak mengalami peningkatan yang berarti. usaha sineas dan pekerja film Indonesia yang telah memutar kembali roda industri perfilman Tanah Air setelah mati suri selama hampir dua belas tahun, memang patut di apresiasi. Kerja keras, kreatifitas dan tekad mereka yang besar untuk memajukan perfilman dalam negeri memang membanggakan. Berkat kerja keras mereka, bioskop-bioskop di negeri ini tak lagi didominasi oleh film-film impor dari Hollywood, Bollywood, atau dari Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea, China-Mandarin). Film-film kita sudah mulai menunjukan taring. Tapi, itu hanya dari segi kualitas. Jika berbicara pada tataran kualitas tema, isi, serta ide cerita yang diusung oleh film-film buatan dalam negeri, kita masih jauh ketinggalan.
Berlebihan memang jika mengatakan bahwa film-film Indonesia kurang bermutu, demi mengingat ada beberapa film kita yang mendapat penghargaan di beberapa ajang berskala besar seperti film Pasir Berbisik Gie, Berbagi Suami, Opera Jawa atau Janji Joni. Tapi, jika kita melihat secara umum, film-film produksi Tanah Air memang kurang bersisi. Tema-tema yang diangkat terasa monoton dan terkesan mengikut-ikut. Film-film kita banyak yang hanya mengangkat tema-tema seputar kehidupan remaja, cinta monyet, dan belakangan muncul kecenderungan baru: film horor. Ketiga tema ini, yaitu cinta, remaja, dan horor seakan menjadi tren perfilman kita hari ini. Tren tampaknya memang menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa yang kurang produktif seperti Indonesia . Tontonlah film-film lokal yang diproduksi belakangan ini, maka kita akan melihat betapa tidak produktifnya ide/tema yang digarap dalam film-film tersebut.
Para pembuat film terkesan hanya menjadi followeratas film-film yang telah menuai sukses sebelumnya. Sebagai contoh, kita ambil film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) garapan sutradara Rudi Soedjarwo yang diproduksi oleh Miles Production (Mira Lesmana). Film yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai penanda bangkitnya kembali Industri perfilman Tanah Air ini, seolah menjadi patokan utama bagi para pembuat film lain setelah film yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ini menuai sukses besar di pasaran. Film-film bertema remaja dan cinta seperti Eifeil I’m In Love (Multivision Plus), Apa Artinya Cinta, Cinta Pertama, 30 Hari Mencari Cinta, Jomblo, Virgin sekedar menyebut beberapa contoh saja, pun booming menyusul kesuksesan AADC.
Begitu juga dengan tren film horor yang muncul baru-baru ini. Tema misteri dan kehidupan gelap para lelembut menjadi tema garap yang cukup menjanjikan setelah film Tusuk Jelangkung mencetak sukses di pasaran (konon, angka penjualan film ini mencapai 100 ribu kopi). Maka, pembuat film pun seakan berlomba-lomba memproduksi film-film bertema serupa. Film-film bertema hantu seperti Jelangkung 2, Terowongan Casablanca, Hantu Jeruk Perut, Rumah Pondok Indah, Panggil Namaku 3 Kali, Pocong 2 dan 3, Kuntilanak, Lewat Tengah Malam, Ruang 13, Malam Jumat Kliwon, Leak, Angker Batu, Lantai 13 atau Mirror, mendapat sambutan yang bagus dari pencinta film Tanah Air. Hingga, bioskop-bioskop pun dipenuhi oleh poster-poster bergambar hantu, dedemit, dan makhluk halus lainnya.
Dalam waktu dekat pun, beberapa rumah produksi telah siap merilis film-film angker terbaru, seperti Suster Ngesot, Suster N , dan sederetan film-film mistik lainnya. Apa yang menyebabkan semua ini? Betulkah masyarakat kita begitu gandrung dengan tema-tema cinta, remaja dan horor? Ataukah ada hal lain di balik fenomena ini?
Tapi menurut saya pasti ini semua ada hal yang mendasarinya Tema monoton dan ide garap yang hanya berputar di satu tempat saja, tak lain dan tak bukan adalah karena bangsa kita belum terlepas dari kuasa pasar dan sistem kapitalis. Modal dan keuntungan menjadi prioritas utama dalam segala tindakan yang diambil. Hingga, selera pasar pun menjadi penentu segalanya. Prinsipnya yang diusung cukup sederhana: apa yang diproduksi harus berpatokan pada selera pasar. Apa yang dapat menghasilkan uang secara instan dalam jumlah besar, itulah yang harus diutamakan. Dalam konteks perfilman, kuasa pasar telah menghambat lahirnya ide-ide baru yang mungkin lebih brilian dan inovatof. Kreatifitas pun jadi tersendat. Hal-hal baru tak akan diperlukan selama barang lama masih berlaku di pasaran. Maka, selama film-film bertema cinta, remaja dan hantu masih menjadi tren di pasaran, tema-tema baru pun luput dari perhatian. Hingga, film-film Indonesia pun seperti jalan ditempat.
Selain tema yang monoton, film-film kita pun miskin nilai edukasi. Mengingat kuasa pasar yang begitu besar dan politik kapitalisme yang dijalankan di belakangnya, hal ini wajar terjadi. Kurangnya nila-nilai moral dan pendidikan dalam film-film Indonesia adalah karena yang dijadikan tujuan ketika sebuah film diproduksi bukanlah pesan moral atau nilai positif apa yang akan didapatkan oleh penonton selama/setelah menonton film tersebut, tetapi lebih kepada “apa yang akan menghibur penonton.” Dengan demikian, fungsi film sebagai produk budaya hanyalah untuk menghibur (to entertain) semata. Sementara fungsi-fungsi lain seperti fungsi edukasi (to educate) dan pencerdasan masyarakat menjadi tak penting. Apalagi fungsi film sebagai alat kontrol dalam masyarakat, belum terpenuhi sama sekali.
Memang ada segelintir insan perfilman Tanah Air yang bisa lepas dari kuasa pasar dan politik kapitalisme ini dengan mengangkat tema-tema yang cukup bagus dan berani, seperti Daun Diatas Bantal, Pasir Berbisik, Gie (Mira Lesmana dan Riri Reza),Opera Jawa (Garin Nugroho), Arisan , dan Berbagi Suami (Nia Dinata). Namun, banyak dari film-film tersebut yang tak menuai sukses di pasaran. Gie , misalnya. Walaupun mendapat sambutan yang baik, namun film yang mengangkat kehidupan Soe Hok Gie ini, diakui oleh Riri Reza, sampai sekarang belum bisa menutupi biaya produksi yang mencapai 10 miliar rupiah. Coba bandingkan dengan film Jelangkung yang mencetak angka fantastis di pasaran (terjual lebih 100 ribu kopi). Hal ini semakin memperjelas betapa selera pasar telah begitu berkuasanya di negeri ini.
Kuasa pasar dan politik kapitalisme juga mengekang idealisme. Segala hal dituntut seragam. Begitu juga dengan film. Jika ingin film kita laris di pasaran, maka jangan coba-coba jadi idealis. Semua harus merujuk pada permintaan pasar. Ketika permintaan dan animo terhadap film cinta, remaja, dan hantu begitu besar, maka produksilah film-film bertema serupa. Pemahaman semacam inilah nampaknya yang menjadi pemicu lahirnya film-film bertema monoton dan miskin nilai edukasi seperti di Indonesia . Bangsa kita masih dikuasai oleh pemilik modal. Kuasa pemilik modal sebenarnya oke-oke saja ketika tidak dipengaruhi oleh selera pasar yang cenderung melenakan itu. Jika para pemilik modal mau tampil beda dan bersedia membiayai film-film bagus berbudget besar, maka bangkitnya kembali industri perfilman Indonesia tak lagi hanya pada tataran kuantitas, tapi juga kualitas.
Selama ini memang yang menjadi kendala utama pembuatan film-film bagus adalah masalah biaya. Para pembuat film masih terbentur oleh masalah klasik yang satu itu. Jadi, jika seandainya kaum pemilik modal mau membiayai produksi film-film bagus yang berbudget besar, maka bukan tak mungkin, suatu saat industri perfilman kita bisa menyaingi Bollywood atau bahkan Hollywood sekalipun. Melihat kenyataan hari ini, kaum pemilik modal nampaknya masih enggan mengambil risiko dengan, misalnya, membiayai film-film yang tampil beda. Kaum pemilik modal begitu terpaku pada selera pasar. Laba yang menjadi target utama harus tercapai. Pemilik modal betul-betul menerapkan prinsip ekonomi: pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnnya. Film-film bertema cinta, remaja dan hantu yang menjadi tren sekarang ini tentu tak membutuhkan modal yang begitu besar seperti film-film produksi Hollywood . Sementara, hasil yang didapatkan dari film-film tersebut cukup menggiurkan.
Singkatnya, saya sangat berharap lebih dari perfilman Indonesia di kemudian hari. Tidak hanya diam di tempat walaupun tidak bisa sebaik perfilman Hollywood namun perfilman Indonesia harus bisa lebih bermutu dari segi moralitas. Secara Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya timur. Perfilman Indonesia harus bangkit tidak boleh terus mngalami keeterpurukan, wlaupun perfilman Indonesia sangat produktif dalam mneghasilkan film tapi kalau filmnya saja sangat tidak bermutu tetap saja perfilman Indonesia masih terpuruk
Edukasi dan budaya harus tetap diutamakn dalam setiap film Indonesia, satu visi yang harus dimiliki oleh sineas film Indonesia ialah “ mencerdaskan bangsa dengan film karya anak bangsa “. Bagi masyarakat, kerena sekarang film Indonesia masih dalam keadaan yang kurang bagus jadi para masyarakat harus pintar -pintar memilih sebuah film yang berkualitas.
Sumber :
http://quarta.multiply.com/reviews?&show_interstitial=1&u=%2Freviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar